Preview Illustrasi + Chapter 1 | Osananajimi Kusare

 










Chapter 1

Mari Kita Putus


Akademi Swasta Ourai.


Sebuah sekolah unggulan yang terkenal dengan nilai akademis tinggi di prefektur ini, dan juga karena seragam siswi perempuannya yang lucu.


Seragam blazer sailor berwarna merah marun dengan rok bermotif kotak-kotak terlihat mencolok, sehingga siapa pun bisa langsung tahu bahwa pemakainya adalah murid sekolah ini. Banyak siswi yang mengikuti ujian masuk karena mengidolakan seragam tersebut.


Pagi hari di bulan November yang sudah memasuki musim gugur, di jalan perumahan menuju sekolah.


Para siswa yang mengenakan seragam itu saling menyapa dan bercanda dengan teman-teman mereka sambil berjalan menuju tempat belajar. Pemandangan yang biasa saja.


Namun, begitu seorang siswi muncul di gerbang sekolah, suara obrolan mereka langsung terhenti.


Itulah betapa menonjolnya kehadirannya—seorang gadis yang benar-benar mencuri perhatian.


Kulit putih bening yang tidak lazim dimiliki orang Jepang, mata panjang yang dingin namun indah, wajah dengan garis tegas yang tampak seperti pahatan, rambut panjang berwarna pirang dengan gelombang lembut seperti benang perak, serta tubuh semampai seperti model.


"Wow, seperti biasa, Saeki-senpai cantik banget. Dia kan blasteran ya?"

"Katanya ayahnya orang Swedia."


Penampilannya yang tidak membumi membuatnya tampak seperti peri salju atau es.


Gadis itu—Sara Saeki—tidak terganggu oleh tatapan tajam orang-orang yang seolah menancap padanya, dan melangkah cepat melewati gerbang menuju gedung sekolah seolah semua itu hal biasa.


Saat itu, seorang siswa laki-laki menghadangnya dan mencoba berbicara. Dengan tubuh tinggi dan wajah rupawan, semua orang pasti akan menyebutnya tampan.


"Selamat pagi, Saeki-senpai!"

"…………"

"Aku murid kelas dua—eh, tunggu dulu dong!"


Namun Sara sama sekali tidak menanggapi, tidak menunjukkan reaksi sedikit pun, dan mencoba berjalan melewati seolah pria itu tak ada.


Mungkin karena tak menyangka akan diabaikan seperti itu, si pria buru-buru meraih tangannya.


"Aku yakin senpai tahu aku, kan? Aku yang juara nasional kendo waktu itu…"

"…………"

"Umm, maksudku, kurasa di sekolah ini cuma aku yang sepadan sama senpai…"

"……Mengganggu."

"Ugh!"


Meski dia mencoba sekuat tenaga untuk mengesankan Sara, gadis itu hanya mengerutkan sedikit alisnya dan mengucapkan satu kata dingin penuh rasa muak.


Seperti mengusir serangga, dia menepis tangan si pria. Tak ada pilihan lain bagi si pria selain mundur.


Lalu Sara berjalan pergi begitu saja, seolah tak terjadi apa-apa. Yang tersisa hanya dia, berdiri linglung.


"Wow, itu penolakan mentah-mentah. Udah lama nggak lihat!"

"Dia bahkan kalau sesama cewek pun, orang segan buat nyapa."

"Saking cantiknya, rasanya nggak pantas berdiri di samping dia."

"Saeki-san tuh, kayaknya emang nggak tertarik sama cowok."

"Eh, tapi bukannya dia punya pacar?"

"Iya, yang selalu bareng dia tuh, yang biasa banget penampilannya."

"Lebih kayak pelayan putri, daripada pacar!"

"Ahaha, iya juga sih!"


Para siswa, baik laki-laki maupun perempuan, saling berbisik tentang Sara.


Seolah sedang membicarakan sesuatu yang jauh dan tak bisa diraih, namun dengan nada penuh kekaguman.


Faktanya, Sara memang dikenal tidak membuka diri terhadap siapa pun. Dia adalah sosok "bunga di puncak tebing"—tak tersentuh, tak tergapai. Itulah Sara Saeki.


◇◇◇


Kelas 3-1 dipenuhi suara ramai.


Meski ujian masuk universitas sudah dekat, bukan berarti semua orang belajar terus-menerus. Memang ada beberapa siswa yang sudah membuka buku sejak pagi, tapi itu hanya segelintir murid saja.


Sebagian besar siswa mengobrol santai dengan teman-temannya, memainkan smartphone, membaca buku, atau bahkan tidur dengan kepala tertelungkup di meja.


Di tengah suasana itu, Takagi Takumi duduk di bangkunya sambil membaca novel saku yang sudah diberi sampul.


Dia begitu tenggelam membaca hingga tampak tak peduli dengan sekitarnya.


Melihat itu, seorang siswa laki-laki menepuk bahunya, penasaran dengan apa yang dibaca Takumi.


"Yo, Takumi. Lagi baca apa tuh?"

"Shinji ya. Ini light novel, judulnya 'Senkou'—yang sekarang lagi difilmkan. Ada yang nyaranin."


Takumi membuka sedikit sampul dan menunjukkan judulnya, dan Shinji mengangguk-angguk.


"Ohh, ngerti. Seru nggak?"

"Sampai bikin pengen nonton filmnya juga."

"Wah, jadi tertarik nih aku."


Saat mereka asyik membahas novel itu, seorang gadis kecil dengan mata berbinar datang menghampiri, jelas tertarik dengan percakapan mereka.


Gadis mungil itu punya mata besar bulat seperti anak hewan, rambut semi panjang yang dikuncir setengah ke atas, dan wajah imut.


"Dengar-dengar kalian bahas 'Senkou' ya!?"

"Oh, Yumigawa!"

"Yui juga dulu sempat nyaranin novel itu, kan?"

"Iya iya! Terus, gimana menurut kalian!?"

"Jadi pengen nonton filmnya juga nih."

"Aku juga jadi penasaran gara-gara Takumi!"

"Ehhehe~ gitu ya! Oh iya! Bagian favoritku tuh ya~──"


Yui langsung tersenyum lebar, mengepalkan tangan di dada, dan dengan penuh semangat menjelaskan bagian favoritnya.


Takumi dan Shinji ikut tersenyum melihat antusiasmenya.


Dengan gestur lincah dan tubuh kecilnya yang aktif, Yui menjelaskan dengan sangat ekspresif sampai-sampai seluruh kelas tersenyum melihatnya.


Bahkan di klub sastra yang menaungi klub manga tempat Yui bergabung, dia sangat disukai—dan itu tak mengherankan.


Yumigawa Yui adalah gadis seperti maskot yang dicintai oleh semua orang, tanpa memandang jenis kelamin.


"Jadi ya… ah."


Saat itu, pintu kelas terbuka lebar dan suasana mendadak hening.


Semua pandangan tertuju pada Sara.


Hal ini sudah sering terjadi, dan seperti biasa, Sara hanya melirik ke sekitar sebentar lalu memusatkan pandangannya pada seorang siswa laki-laki yang biasa-biasa saja—Takumi.


Ekspresinya yang dingin berubah makin muram, dan dia berjalan mendekat lurus ke arah Takumi.


"Takumi, dasar pengkhianat."


Dengan pandangan dan suara yang sedingin es, kata-katanya membuat semua orang menahan napas.


Namun Takumi dan Yui hanya tersenyum kecut.


"Aku udah bangunin kamu, lho. Yang nggak bangun itu kamu sendiri, Sara."

"Tapi kamu ninggalin aku."

"Yakin deh, kamu pasti begadang. Sampai ibumu juga geleng-geleng kepala."

"……Takumi kurang punya tekad."

"Yah, ampun deh kamu ya…"


Saat Sara berkata begitu dengan nada kesal seperti anak kecil yang merajuk, Yui menyentuh dagunya dengan jari telunjuk dan bergumam "hmm" sambil berpikir.


Kemudian, seolah baru saja teringat sesuatu, ia berseru, "Ah!" dan mulai tertawa pelan.


"Ngomong-ngomong, semalam ada program spesial ‘Senkou’ tengah malam. Aku rekam, lho."

"!?"

"Jadi itu alasannya, ya."

"Kalau nggak salah, tayangnya jam dua pagi, kan?"

"……Yui, kamu jahat."

"Itu murni salahmu sendiri tahu. —Aduh!?"

"Takumi, berisik."


Sara, yang merasa kena batunya, tetap dengan ekspresi datarnya, hanya sedikit manyun dan memelintir lengan Takumi. Ia hanya melirik Takumi yang menahan sakit dengan mata berair, lalu mendengus pelan dan memalingkan wajah.


Semua teman sekelas mereka menyaksikan interaksi itu dengan campuran kekhawatiran dan penasaran.


Hanya Yui yang tetap tersenyum kecut, menepuk pelan lengan Takumi yang dicubit, lalu berbalik menghadap Sara.


"Aduh, Takumi-kun jangan gangguin Sara-chan terus, nanti dia ngambek beneran."

"Aku nggak ngambek."

"Iya, iya~. Kalau gitu, hari Minggu nanti kita nonton film ini, gimana?"

"…………"

"Film yang kamu rekomendasiin ini ternyata seru banget, kan lumayan juga buat istirahat dari belajar ujian."

"……Kalau kamu maksa begitu, ya udah, aku ikut. Traktirkan aku ya, Takumi."

"Mana mau! Duh!"

"Aduh, Sara-chan ini nggak pernah bisa jujur sih."


Sara lalu duduk di bangku sebelah Takumi dengan sikap acuh tak acuh.


Takumi dan Yui saling menatap dan tersenyum kecut.

Hal seperti ini sudah jadi hal biasa bagi mereka.


"Oh iya, Yui juga ikut yuk? Kamu kan sampai pidato segala karena suka banget sama film ini."

"E-eeeh!? Aku nggak usah deh… soalnya aku nggak enak sama Sara-chan."

"Bukan kayak gitu juga sih, aku sama Sara cuma teman masa kecil doang. Shinji, kamu mau ikut?"

"Aduh, nggak dulu, bro. Lagian cuma kamu doang yang bisa ngobrol sama Saeki-san, oke?"

"Udah dibilang juga, aku tuh──"


Takumi pun mencoba mengajak Yui dan Shinji untuk ikut nonton, tapi mereka berdua menolak.


Yui menolak dengan ekspresi minta maaf, sementara Shinji dengan wajah yang jelas-jelas berkata "ampun deh".


Takumi hanya bisa menghela napas panjang sambil memandang keduanya.


Saat ia melirik ke arah Sara, gadis itu tampak sedang asyik menatap layar ponsel, seolah tidak menyadari dirinya diperhatikan. Mungkin sedang mencari jadwal tayang film.


Takumi menundukkan kepala dengan lemas, menyentuh dahinya dengan tangan.


Ini pun juga hal yang sudah sering terjadi. Meskipun Sara selalu dikelilingi oleh jarak dari orang lain, ada dua orang yang bisa berbicara dengannya secara langsung dan menjalin komunikasi dengannya.


Mereka adalah Yui yang dicintai semua orang, dan Takumi, teman masa kecilnya.


◇◇◇


Hari Minggu, pagi-pagi sekali, hari ketika mereka akan pergi menonton film.


"Takumi, bangun."

"Uwaa, dingin banget!? Apa yang kamu lakukan, Sara!?"


Takumi terbangun dari tidurnya setelah tubuhnya diselimuti hawa dingin.


Di bulan November, pagi hari memang sangat dingin. Selimut tebal adalah barang wajib untuk tidur.


Di depannya berdiri Sara, dengan ekspresi datar seperti biasa, yang baru saja mencabut selimutnya.


Saat Takumi menatap kesal dengan mata setengah terbuka, Sara hanya terdiam sambil melipat selimut dan memberi tekanan agar Takumi segera bangun.


Saat Takumi menoleh ke jendela, ia melihat tirai yang melambai pelan.


Sepertinya seperti biasa, Sara masuk lewat jendela. Sebagai teman masa kecil, kadang dia memang suka menyelinap dari jendela.


Takumi menghela napas dan mengecek jam: pukul 7:15 pagi. Lebih awal dari biasanya.


"Ini terlalu pagi banget sih…"

"Cepat ganti baju."

"Wapf!"


Takumi mengeluh, tapi Sara yang sudah terbiasa dengan rumah Takumi langsung membuka lemari, memilih baju, dan melemparkannya ke arah wajahnya.


Kemudian, Sara menatap bagian tubuh tertentu Takumi dan berkomentar.


"Takumi, pagi ini juga semangat banget ya."

"!?!? Itu reaksi alami! Jangan lihat yang aneh-aneh!"


Takumi buru-buru menutupi bagian bawah tubuhnya dengan pakaian, sementara Sara tampak puas, tersenyum tipis, mengacungkan jempol, lalu keluar kamar.


Takumi menggaruk-garuk kepala. Angin berhembus dari jendela yang masih terbuka, membuat tubuhnya menggigil.

Saat melirik ke luar jendela, ia bisa melihat kamar Sara yang bertema monokrom di rumah sebelah.


Keningnya mengernyit.


Takumi dan Sara adalah teman masa kecil.

Sangat dekat.


Lahir di hari yang sama, di rumah sakit yang sama. Rumah mereka berdampingan.


Dibesarkan bersama oleh keluarga yang sangat akrab. Mereka bahkan pernah berbagi botol susu yang sama.


Sudah terlalu lama bersama, sampai-sampai kebersamaan mereka terasa seperti hal yang lumrah.


Meski begitu, mereka tetap remaja laki-laki dan perempuan.

Takumi kadang merasa masuk lewat jendela itu agak keterlaluan.


Pernah suatu waktu saat SMP, ia mencoba menegur soal itu.

Namun ayah Sara, Ulrik, berkata:


[Kalau sampai terjadi kejadian keberuntungan seperti secara tidak sengaja melihat Sara berganti baju, tolong beritahu aku. Aku ingin tahu perasaanmu saat itu dan ingin kamu menulis laporannya. Bahkan aku mempertimbangkan memasang kamera agar bisa merekam kejadian tersebut]


Ucapan itu membuat Takumi benar-benar bingung.

Untungnya, ibu Sara melarang pemasangan kamera itu. Tapi saat itu Sara sendiri malah berkata:


[Apa aku harus latihan bereaksi?]


Ayah dan anak itu memang sama saja.

Begitulah hubungan mereka.


Takumi menggaruk kepalanya dan segera mengganti baju.


◇◇◇


Setelah sarapan bersama di rumah Takumi, mereka langsung berangkat dan naik kereta menuju kota.


Tampaknya mereka memang ingin mengejar jadwal tayang pertama.


Tujuan mereka adalah kota terbesar di daerah itu.


Entah untuk belanja atau hiburan, semua orang datang ke kota ini.


Pagi hari di akhir pekan, pusat kota masih sepi.


Banyak toko belum buka, dan orang-orang hanya masuk ke restoran 24 jam, minimarket, atau kafe yang sudah buka untuk sarapan.


Takumi dan Sara berjalan lurus dari stasiun menuju bioskop.

Sara tampak sangat bersemangat—langkahnya ringan dan cepat.


Takumi menguap sambil diam-diam memperhatikan ujung gaun one-piece Sara yang agak mencolok saat bergoyang, lalu mengejarnya dari belakang.


Bermain bersama Sara seperti ini sudah jadi hal yang biasa sejak dulu.


Sudah tak terhitung jumlahnya. Namun, sangat jarang ada orang lain yang ikut serta.


Sara hampir tidak punya teman yang bisa benar-benar disebut "teman." Selain Takumi, mungkin hanya Yui. Tapi bahkan Yui jarang bertemu dengannya di luar sekolah.


Takumi melirik ke arah Sara yang berjalan di depan, lalu melihat sekeliling. Ia menyadari bahwa orang-orang yang berlalu-lalang, baik pria maupun wanita, berhenti dan menoleh ke arah mereka.


Dengan penampilannya yang tidak mungkin dimiliki oleh orang Jepang, Sara sangat mencolok.


Dia gadis cantik yang luar biasa, hingga tak bisa dibandingkan dengan siapapun.


Padahal, sebenarnya Sara hanya bisa berbicara dalam bahasa Jepang. Penampilannya benar-benar menipu.


"Hei, kamu... boleh bicara sebentar?"

"…………"

"Eh, sebentar! Jangan-jangan kamu nggak ngerti bahasa Jepang? Tenang aja, aku jago banget bahasa Inggris! My name is Hiro."

"……Menyebalkan."

"Eh? Jadi ngerti bahasa Jepang juga, ya! Lagi mau ke mana, nih?"

"……Haaah."


Situasi seperti ini pun sudah sering terjadi.


Yang menyebalkan, orang-orang seperti ini sering kali tidak menyerah meskipun ditanggapi dingin.


Mungkin itu juga alasan Yui enggan ikut. Karena Yui juga imut dan menarik, pasti akan makin sering diganggu.


Saat Takumi memikirkan hal itu, Sara tiba-tiba menoleh dengan ekspresi agak kesal dan meraih lengannya dengan paksa.


"……Oh, jadi kamu udah punya cowok."


Laki-laki itu melihatnya dan pergi dengan kecewa.


Takumi hanya bisa tersenyum kecut, sementara Sara tanpa berkata apa-apa langsung memelintir lengannya.


"Aw! Sakit!"

"……Takumi bodoh."


Sara kembali berjalan, namun tetap menggenggam lengannya tanpa melepaskannya.


◇◇◇


Beberapa jam kemudian, siang hari di sebuah restoran cepat saji.


Setelah selesai menonton film, Takumi dan Sara duduk berhadapan dan menikmati makan siang yang agak terlambat.

Sara masih dalam semangat tinggi, berbicara cepat dengan suara datar namun penuh antusias.


"Bagus. Sangat bagus. Untung aku sudah baca novelnya, jadi cuma luka ringan."

"Memang luar biasa, sih. Aku sampai kaget."

"Sutradaranya punya cinta pada karya aslinya. Dia benar-benar paham. Dan tetap mempertahankan gaya khas anime. Ini layak ditonton dua kali."

"Benar juga. Kalau bisa, lain kali nonton sama Yui."

"……Iya, boleh."


Setelah meluapkan semangatnya, Sara yang jarang bicara cepat pun akhirnya menggigit hamburger yang ia pegang.

Takumi pun mengikuti, memakan kentang goreng dan meneguk cola.


Di sekitar mereka, banyak anak muda seusia yang tertawa dan mengobrol. Namun, di antara Takumi dan Sara, tidak ada percakapan. Mereka hanya makan dengan tenang.


Kalau dilihat dari luar, mungkin terlihat seperti hubungan yang dingin atau tidak akur.


Faktanya, kombinasi antara Sara yang mencolok dan Takumi yang biasa saja sangat menonjol, dan menjadi bahan bisik-bisik di dalam restoran.


Dalam suasana seperti itu, tiba-tiba Sara bergumam seperti baru teringat sesuatu.


"……Takumi, kita putus saja."


Takumi langsung menunjukkan ekspresi bengong, seperti tidak percaya apa yang didengarnya.


Sara mengucapkannya tanpa nada serius, lebih seperti mengobrol soal hal biasa.


Takumi berkedip beberapa kali, lalu mengerutkan alis, seolah bertanya apa-apaan sih ini cewek?


"Kenapa tiba-tiba? Jangan-jangan saus nugget kamu tadi ada yang aneh?"

"Ah! ……Sebagai ganti saus yang diambil, aku mau kentang gorengmu."

"Oke, oke. Ambil sepuasnya."


Saat Takumi mencocol saus nugget Sara ke kentangnya dan memakannya, Sara yang sedikit tersenyum juga mengambil kentang goreng milik Takumi.


Untuk beberapa saat, mereka kembali diam sambil mengunyah kentang masing-masing.


Takumi tidak tahu kenapa Sara tiba-tiba berkata seperti itu.

Tapi, Takumi pun sebenarnya punya pikiran yang sama.


"Yah, memang sih, orang-orang sering mikirnya begitu. Tapi kenapa harus sekarang? Kenapa tiba-tiba?"

"Sebetulnya, Yui kemarin diajak ikut acara kencan kelompok."

"Yui!? Dia bukan tipe yang suka ikut begituan, kan…"

"Katanya sih ditolak. Tapi itu bukan masalahnya. Kamu pernah diajak ikut begituan?"

"Nggak pernah. Biasanya mereka bilang, ‘kasihan sama Sara’."

"Aku juga begitu. Tadi malam, aku sempat ajak Yui buat ketemu. Tapi dia nolak karena nggak mau ganggu."

"……Begitu ya."


Takumi dan Sara saling berpandangan dan menghela napas panjang.


Mereka sadar bahwa hubungan mereka jadi penghalang untuk punya pasangan lain.


Bahkan Yui, sahabat mereka, selalu bersikap hati-hati kalau menyangkut hubungan Sara dan Takumi. Jadi Takumi bisa mengerti arah pembicaraan Sara.


Selain itu, Takumi juga selama ini diam-diam sering memikirkan hal itu.


Apakah ia akan terus bersama Sara seperti ini selamanya?


Bagi Takumi, Sara adalah teman masa kecil yang lebih akrab dari keluarga sendiri. Bahkan melebihi hubungan saudara kandung.


Bukan berarti ia membenci itu. Tapi justru karena itu, ia tidak bisa membayangkan dirinya jatuh cinta dan menikah dengan Sara.


Sara mungkin juga merasa hal yang sama. Ada perasaan yang tidak nyaman.


"Itu sebabnya, kita harus coba putus. Untuk memperluas wawasan."

"Putus ya… Tapi gimana caranya?"


Mengatakan "putus" tidak akan cukup untuk memutus ikatan seperti ini.


Mereka sudah sering bertengkar sebelumnya. Tapi paling lama dua-tiga hari, mereka sudah akur lagi.


Takumi tidak percaya hubungan seperti ini bisa diputus hanya dengan kata-kata.


Justru karena mereka sudah menghabiskan begitu banyak waktu bersama, inilah yang terjadi.


"Ada satu ide. Kalau kita sama-sama merasa super canggung, mungkin bisa."

"……Secara teori sih masuk akal. Tapi maksudmu apa?"

"Berhubungan seks."

"……Apa?"


Takumi terkejut, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya.


Wajah Sara tetap tanpa ekspresi. Takumi, yang menganggap dirinya paling mengenal Sara, benar-benar tidak bisa memahami jalan pikirannya kali ini.


"Berhubungan. Seks. Hubungan intim. Kontol kamu masuk ke memekku──"

"Eh eh eh, nggak usah dijelasin juga aku ngerti maksudnya!!"

"Eh, kamu bisa terangsang kalau sama aku?"

"Ya, mungkin bisa sih…"


Pada titik ini saja, suasana sudah sangat canggung.


Meski seharusnya ini hal yang sangat penting, Sara bertanya dengan nada yang sama seperti biasa. Justru itulah yang semakin memperdalam kebingungan Takumi.


Bagi Takumi, Sara adalah teman lama yang sudah biasa dilihatnya, tapi ia tetap mengakui bahwa Sara cantik—bahkan jika ia mengurangi bias karena kedekatan mereka. Karena itu, ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak melihatnya sebagai objek seksual.


"Kalau gitu, sudah diputuskan."

"Hei, Sara—!"


Sara langsung menyuap sisa hamburgernya ke mulut, lalu buru-buru berdiri dan keluar. Gayanya persis seperti saat ia memaksa Takumi untuk cepat-cepat pergi ke bioskop pagi tadi—tergesa-gesa dan mendesak.


Takumi buru-buru mengejarnya, tapi Sara sudah jauh di depan dan sulit dikejar.


Sejak dulu, aku sering dibuat berputar-putar oleh ide spontannya, pikir Takumi.


Tapi apakah hal yang sedang terjadi sekarang ini benar-benar sesuatu yang bisa diputuskan dengan santai seperti itu?


Tanpa sempat melihat ekspresi Sara, mereka sudah sampai di depan love hotel di pinggir kota. Bangunannya bergaya istana Eropa, dengan desain eksterior yang fantasi.


Itu justru membuat situasi yang sedang mereka alami terasa semakin tidak nyata.


"Hehe, agak imut. Aku sebenarnya penasaran juga."

"...Serius?"

"Serius. Jangan lupa pakai alat kontrasepsi. Tidak ada ciuman. Ayo masuk."

"Hey!"


Sejak dulu, begitu Sara memutuskan sesuatu, ia tidak akan mendengarkan omongan orang lain.


Takumi terpaksa mengejarnya lagi.


"Kalau begini terus, aku agak tidak suka."


Tapi bisikan Sara itu membuat Takumi sedikit mengerti.


Mereka hanya terbawa arus.

Mereka kebetulan lahir sebagai teman masa kecil.

Bukan takdir, tapi kebetulan.


Karena itu—


"...Aku agak setuju di bagian itu."

"Hebat juga, Takumi. Kamu paham."


Kemudian, pandangan Sara beralih ke panel gambar kamar yang tersedia.


Kamar yang mereka pilih memiliki interior yang sangat biasa.


Tempat tidur besar, sofa berlapis kulit—kesannya seperti hotel kota mewah biasa. Tapi jendela yang tertutup rapat membuatnya terasa seperti tempat untuk menyembunyikan rahasia.


"Lebih biasa dari yang kubayangkan. Kupikir ada ranjang berkanopi yang bisa berputar, atau kamar bertema kereta api, rumah sakit, atau ruang kelas."

"Itu hanya ada di tempat yang memang berkonsep begitu, kan?"

"Sayang sekali."

"…………"

"…………"


Meski mereka berbicara seperti biasa, ada keheningan yang berbeda mengalir di antara mereka.


Tentu saja, keduanya merasa gugup dan tidak tenang.


Mereka hanya berdiri di depan pintu, menatap kamar dengan gelisah.


Rasa canggung sudah mencapai puncaknya.


Apakah tujuan mereka sebenarnya sudah tercapai?

Pikiran seperti itu melintas.


"Hey, Sa—"

"Kamu yang lepas, atau aku yang melepas?"

"Eh, tunggu du—!"

"Aku ingin melepasnya."


Berbeda dengan Takumi yang ragu, Sara terlihat sudah bulat tekadnya.


Ia mengabaikan larangan Takumi dan langsung melepas pakaiannya.


Lalu, dengan paksa, ia menarik kemeja Takumi—tapi tiba-tiba tangannya berhenti, dan ia menahan napas. Wajahnya juga agak memerah.


"...Berbeda denganku ya."

"Ya, tentu saja!"

"Bawahnya juga aku lepas—ah!"

"Hah!?"


Ketika Sara mencoba melepas celana Takumi, tangannya yang putih seperti ikan menyentuh bagian yang sudah tegak berdiri.


Serangan mendadak itu— Memberikan sensasi manis dan menggigil yang menyebar dari tulang belakang, membuat Takumi tidak tahu harus berbuat apa.


Refleksnya ingin mundur, tapi Sara tidak mengizinkannya.


Seolah sangat penasaran dengan "organ" yang tidak dimilikinya, Sara mulai memainkannya dengan teliti menggunakan telapak tangannya.


Takumi ingin melepaskan genggaman Sara, tapi kenikmatan yang diberikan oleh sentuhannya justru menghalangi niat itu.


Napas Sara yang semakin berat mengenai kulit Takumi, semakin memicu gairahnya.


"…………"

"Hei Sara, Sara! Ini—!"

"Hah!?"


Sebagai balasan, Takumi melepas cardigan yang dipakai Sara.


Kali ini, giliran tangannya yang berhenti.


Pakaian tanpa lengan dari gaun Sara terlihat, memperlihatkan kulit seputih salju yang biasanya tak terlihat. Takumi tanpa sadar menelan ludah.


Tidak hanya itu, bagian kontolnya semakin mengeras dan berdenyut.


Sara membuka matanya lebar-lebar.


Kegembiraan Takumi terasa melalui tangannya, membuat pipinya memerah dan tiba-tiba memalingkan muka. Tangannya juga melepaskan pegangan.


"Takumi, kamu bergairah."

"Memang kenapa kalau— Eh, apa...?"


Kini bebas dari belenggu Sara, Takumi merasa gilirannya untuk melepas pakaian Sara—tapi ia bingung harus mulai dari mana.


Tangannya hanya bergerak tanpa arah di sekitar tubuh Sara.


"...Resletingnya ada di ketiak."

"O-oh, ini...?"

"Nn... Jadi begini ya. Gaun ini bisa membunuh perjaka. Aku dapat pengetahuan baru."

"Diam kau!"


Ketika Takumi menarik resletingnya sekaligus, gaun itu jatuh ke lantai.


Sara kini hanya mengenakan pakaian dalam.

Seketika, Takumi kehilangan kata-kata.


Desainnya sederhana—kain off-white dengan hiasan renda biru muda dan pita. Penampilan yang mungkin belum pernah diperlihatkan kepada siapa pun itu terlihat sangat indah, seperti mimpi, dan terasa begitu rapuh sehingga seolah akan hancur jika disentuh.


"Ah... pakaian dalamnya..."

"Aku tahu, aku akan melepasnya sendiri. Kamu juga."

"Ya, aku juga... bagian bawah..."


Dan akhirnya, mereka berdiri berhadapan tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh.


Sara berdiri dengan percaya diri. Ia tidak mencoba menutupi area intimnya, dan Takumi bisa melihat rambut pubisnya yang warnanya sama dengan rambut di kepalanya—Ah, warnanya sama, pikirnya anehnya dengan perasaan puas.


Karena itu, Takumi pun ragu untuk menutupi kontolnya sendiri.


kontolnya jauh lebih besar dan keras dari yang ia duga, melengkung hampir sampai ke pusarnya, sesekali berdenyut kesakitan dan mengeluarkan cairan dari ujungnya.


Ia sadar betapa abnormalnya gairahnya saat ini.


Nafasnya juga semakin berat, seolah kehabisan oksigen.


Di dalam dada, emosi liar bergejolak, dan ia berusaha mati-matian menahannya dengan nalar.


Keinginan untuk mengungguli seseorang yang sebelumnya tidak pernah terlalu ia pikirkan sebagai lawan jenis tiba-tiba muncul entah dari mana, membuatnya tidak karuan.


Perasaan membenci diri sendiri pun menyergap.


Sementara itu, Sara terus menatap tajam ke arah kontol Takumi.


"...Ini... Takumi."

"Ya, uh-huh."

"…………"

"…………"

"...Jadi."

"...Jadi apa?"

"Gimana caranya?"

"...Mungkin... kita pelukan dulu?"

"Eh, ehm, baiklah..... Ah!?"


Takumi mengikuti perkataan Sara dan memeluknya.


Meski Sara tergolong tinggi untuk seorang perempuan, tubuhnya ternyata pas sekali dalam pelukannya. Ditambah lagi, sentuhan tubuhnya yang jauh lebih lembut daripada laki-laki membuatnya sedikit gemetar.


Benar-benar berbeda jenis.


Aroma manis dari rambut Sara memenuhi indranya, nyaris merenggut kesadarannya. kontolnya yang menekan perut Sara bereaksi dengan kedutan.


"...Takumi, bersemangat sekali ya."

"D-diam kau!"


Seolah merasa lucu, Sara terkikik-kikik, bahunya bergetar.


Kesal melihat sikap Sara yang terlihat begitu santai, Takumi membalas dengan mulai memainkan tubuh Sara yang ada dalam pelukannya.


Rambut, punggung, lengan, lalu pinggang—semuanya terasa berbeda dari dirinya, membuatnya terkesima.


Mereka tumbuh besar bersama.


Bahkan ingatannya masih menyimpan kenangan saat mereka sering bergandengan tangan waktu kecil.


Tapi sensasi Sara yang ia rasakan sekarang jelas berbeda dari dulu. Gerakan tangannya pun menjadi ragu-ragu.


"Takumi, geli."

"Hah!? H-hey, jangan—!"


Mungkin karena itu, kali ini Sara membalasnya dengan sentuhan lembut seperti bulu, menggelitik bahu, dada, punggung, dan lengan Takumi.


Takumi menggeliat, berusaha melepaskan diri dari sentuhan Sara.


Entah bagaimana, mereka malah saling menggelitik.

Suasana tegang yang tadinya menggumpal pun mengendur.


"Hehe, yaudah, kita ke kasur dulu."

"Haha, iya juga."


Saat pindah ke kasur, Sara melihat sesuatu di samping bantal.


Dengan penasaran, ia mengamati benda kotak pipih seukuran telapak tangan itu, lalu tiba-tiba menepuk-nepuk kasur di sebelahnya—rupanya ia menyuruh Takumi duduk.


Takumi tahu apa yang dipegang Sara. Dadanya berdegup kencang.


Setelah sekadar ragu sebentar, ia menggaruk kepala dan duduk bersila di sebelah Sara.


"Kontrasepsi, penting."

"A-ah."


Kondom. Alat pencegah kehamilan.


Persiapan untuk apa yang akan mereka lakukan.


"Tiket masuk" ke dalam tubuh Sara—izin untuk melakukan ini.


Suara sobekan kemasan terdengar, dan ketegangan Takumi pun memuncak.


Apakah ini benar-benar boleh? Kau tidak bisa mundur setelah ini.


Meski keraguan masih menggelayut di hatinya, kontolnya sudah membengkak penuh antisipasi, bahkan sampai terasa sakit.


Tiba-tiba, wajah Sara—yang tadi asyik memainkan kondom dengan jarinya—menghilang.


"...lick."

"Nghaaah!?"


Seketika, Takumi melengkung ke belakang dan mengeluarkan suara memalukan.


Aliran listrik menyambar dari selangkangannya ke tulang belakang, melumpuhkan indra, kesadaran, dan logikanya. Pikirannya kosong.


"Hamm... Nn... lero... Nn..."

"Hei— S-Sara!? Ngapain—!?"

"...Mengecek 'Takumi'-nya Takumi?"

"Ngecek apaan sih—!?"

"Nn... Asin."

"Ya iyalah, kan belum mandi..."


Sambil masih memegang kondom, Sara menjulurkan lidah merah mudanya, menjilati kepala kontol dan urat kontol Takumi seolah sedang mengecap krim.


Tangannya juga menggenggam dan memainkannya, seakan ingin memastikan bentuknya. Takumi hanya bisa mengertakkan gigi, menahan kenikmatan yang diberikan sepihak ini.


Ini pertama kalinya—dan sensasinya di luar perkiraan.


Selain rangsangan manis dari lidah Sara, fakta bahwa Sara, teman masa kecilnya, sedang dengan serius menjilati bagian paling maskulinnya membuat pikirannya kacau balau antara kebingungan dan kenikmatan.


"Takumi, suaramu lucu."

"Cih! Dasar—!"

"Nn!?"


Di tengah semua ini, diejek dengan disebut "lucu" melukai harga dirinya sebagai laki-laki. Dorongan kekanak-kanakan untuk membalas membuatnya mendorong Sara, lalu mengintip ke antara pahanya.


Di balik rimbunan rambut pirang keperakan, ada celah rapat milik perempuan.


Secara teori, ia tahu. Tapi melihatnya langsung, ia bingung harus diapakan.


"...Hamm."

"Nnngh!? Sara!?"


Saat Takumi masih bingung, tiba-tiba kontolnya terbungkus sesuatu yang lembap dan hangat. Belum lagi, sesuatu yang lembut dan licin melilitnya.


Rupanya Sara sudah mengatur posisi dan memasukkan kontol Takumi ke dalam mulutnya.


Lidahnya berusaha melilit kontol itu, tapi caranya masih kaku, bahkan giginya sering menyentuh. Tapi tetap saja, rasanya luar biasa nikmat.


Kenikmatan yang jauh berbeda dari saat ia memuaskan diri sendiri itu perlahan melumerkan sisa nalar Takumi.

Maka, ini adalah bentuk perlawanannya.


"Nn... Lero..lick..."

"Nngh... Nggh, pyu, nn..."

"Ghh... Nngh!"

"Mmnn—! Nnngh—!"


Takumi memaksa membuka "pintu" Sara yang tertutup dengan lidahnya.


Bau sedikit menusuk memenuhi hidungnya. Tapi itu hanya semakin membakar nafsunya—bau khas perempuan.


Ia menjepit bibir luar dengan mulutnya, mengulumnya, lalu menjilati bibir dalam. Saat lidahnya merayap ke atas, ia melihat sebuah "kacang" yang memerah dan membengkak.


Di sini, ia berhenti sejenak.


Kemudian, dengan menggunakan jari-jarinya, ia membuka sedikit untuk melihat klitorisnya lebih jelas, lalu meniupnya dengan lembut.


"Hnng—!"


Sara langsung menggeliat, tubuhnya bergetar hebat disertai suara teredam. Sepertinya di situlah titik sensitifnya.


Mengincar bagian itu, Takumi langsung menyedot klitorisnya ke dalam mulut dan mulai menggoda dengan ganas menggunakan lidahnya.


"Mmmhh~ nghah! Nnngh~!?"


Reaksi Sara dramatis.


Tanpa sadar, ia melepas kontol Takumi dari mulutnya, berusaha kabur dari kenikmatan yang diberikan.


Takumi mengalihkan targetnya ke bawah, menjulurkan lidah ke lubang memeknya—dan seketika, cairan kewanitaan mengalir deras seperti bendungan yang jebol.


Cairan kental itu membanjiri mulutnya.


Dalam keadaan pikiran yang sudah kacau, Takumi berhalusinasi bahwa rasanya sangat manis, lalu menelannya. Melihat "mata air" yang terus mengalir, ia bergumam pelan.


"...Kamu basah."

"~~~~~~~~~~!?"

"Aduh!?"


Sara, yang merasa sangat malu, langsung mengangkat kepala dan memalingkan wajah sambil memprotes dengan menggenggam kencang kontol Takumi.


Dengan gerakan terampil, ia menggulung kondom ke kontol itu.


Kini mereka kembali berhadapan, dengan ekspresi Sara yang masih sedikit cemberut.


"Persiapan sudah cukup."

"...Yah. Kalau mau berhenti—"

"Nn, sudah terlambat."

"Oke."


Meski sempat mengecek sekali lagi, Takumi sama sekali tidak punya opsi untuk berhenti sekarang. Jika ia tidak melepaskan ketegangan yang sudah memuncak ini, semuanya akan berantakan.


Sara mengulurkan kedua tangannya ke depan. Takumi mengikuti, memeluknya erat dan mendorongnya ke kasur.


"…………"

"…………"


Wajah mereka sangat dekat.

Napas berat saling beradu.


Jantungnya berdebar hampir pecah.


Tapi tiba-tiba, ekspresi Takumi berubah keruh.


"...Takumi?"

"Ah, nggak... maksudku..."

"…………?"

"Aku nggak tahu caranya..."


Sara mengedipkan mata, lalu tersenyum geli.


"Kamu memang selalu begitu ya. Terlalu bersemangat sampai bingung sendiri."

"... aku nggak mau dengar itu darimu."

"Nn... sini."

"O-oh..."


Sara mengubah posisi, melebarkan kakinya, lalu memegang kontol Takumi dan menuntunnya ke lubangnya.


Ujung kontolnya yang sudah basah oleh cairan kini menyentuh lubang itu. Rasanya enak bahkan baru sampai situ.


Matanya bertemu dengan Sara, yang mengangguk mantap seperti biasa.


Dengan pelan, ia mendorong pinggulnya—ujung kontolnya masuk lebih mudah dari yang dibayangkan, tapi kemudian terasa tersangkut.


"…………"


Ia menelan ludah.


Apa yang dirasakan di ujungnya adalah bukti bahwa Sara belum pernah menerima siapa pun.


Hanya Takumi yang menyentuh "bukti" itu. Hanya dia yang diizinkan menodainya.


Begitu menyadarinya, semua pikiran tentang hubungan mereka sebagai teman masa kecil, rasa canggung, atau masa depan—semuanya jadi tidak penting.


Dengan satu dorongan emosi, ia mendorong sampai ke dalam.


"Sara!"

"~~~!?"


Dengan merobek selaput daranya, kontolnya menabrak pintu terdalam.


Tanpa memikirkan kenyamanan pasangannya, ia sepenuhnya digerakkan oleh naluri binatang.


Rasa sempit yang nyaris sakit, tapi dinding memeknya bergerak-gerak memijat seluruh kontolnya. Dan sangat panas.


Dengan "Ugh!", ia menahan dorongan untuk langsung memuncrat. Ia memeluk Sara sekuat tenaga, berusaha menahan kenikmatan.


Tapi memeknya terus tanpa ampun memberinya kepuasan.


Napasnya tersengal, pikirannya kacau, dan satu keinginan kekanak-kanakan menguasainya: Ia tidak ingin gadis ini menjadi milik orang lain.


Ia sadar wajahnya pasti tampak mengerikan saat ini.


Di detik ini, sesuatu dalam dirinya tentang Sara telah berubah—tapi ia tidak tahu apa.


Di sisi lain, melihat wajah Sara yang menahan sakit membuat dadanya sesak, tapi juga membuatnya ingin semakin serakah.


Melihat bibir Sara yang terengah-engah, ia secara alami tertarik untuk menciumnya—tapi dihalangi oleh jari telunjuk Sara.


"...Sara?"


Suaranya terdengar memelas, protes yang menyedihkan. Tapi Sara menggeleng dengan wajah masygul.


"Tidak boleh ciuman. Janji."

"Ah, iya juga..."


Seolah ingin memastikan, senyum masam mengembang di wajah Takumi.


Sesuatu di dalam dirinya bergemuruh keras.


◇◇◇


Yang pertama dirasakan Sara adalah sensasi benda asing yang menusuk.


Disusul rasa sakit seperti tubuhnya terkoyak, lalu nyeri tumpul yang datang belakangan—tanpa sadar ia meremas erat tubuh Takumi untuk mengalihkan perhatian. Begitu kuat sampai kukunya mencengkeram punggungnya.


Saat menyadari ia terlalu kasar, Sara buru-buru melepas pegangan. Tapi Takumi sudah mendekatkan bibirnya dengan ekspresi menyedihkan, membuatnya panik dan menghalangi dengan jari telunjuk.


Mungkin mereka terbawa arus situasi.

Sara menghela napas. Sungguh keterlaluan.


Apa yang baru saja terjadi hanyalah sebuah ritual.

Ritual untuk saling merasa canggung.


Dan untuk menguji perasaan Sara sendiri.


Rasa sakit menjalar dari bagian yang kini tersambung.

Benda asing yang menancap di rahimnya berdenyut-denyut.


Ah, mereka benar-benar terhubung.


Tak ada perasaan lebih dari itu. Juga tak kurang.

Hanya itu yang ia sadari.


Selama ini Takumi selalu ada di sampingnya, hidup bersamanya—seolah semua ini sudah takdir. Tanpa kesan khusus. Sara merasa muak pada dirinya sendiri.


Justru ekspresi Takumi yang berusaha menahan sesuatu jauh lebih menarik dan menggelikan.


Persis anjing yang dicegah makan. Apa segitu enaknya?


Sara teringat bagaimana ia menggoda kontol Takumi tadi dan terpaku pada reaksinya.


Sementara ia hanya merasakan sakit dan ketidaknyamanan. Sungguh tidak adil. Alisnya berkerut kesal.


"Sara...!"

"Nngh!?"


Tiba-tiba Takumi menghisap lehernya, membuatnya terkejut.

Tak hanya itu—rambut, dada, punggung, pinggang, tangan, kaki—setiap inci tubuhnya disentuh, dijilati.


Sentuhan yang tiba-tiba, kasar, dan kikuk.

Memaksa, seolah ia sedang dimakan.


Tapi pinggangnya dipegang erat tak bergerak, sementara jari-jari Takumi menggoda klitoris dan putingnya.

Rupanya ia berusaha hati-hati.


Kadang kontol itu berdenyut di dalam Sara seperti memohon, membuatnya gemas. Untuk pertama kali, ia menyadari Takumi adalah seorang pria.


Tapi hanya itu.


Sara meletakkan tangan di dadanya.

Tak ada debar, semuanya biasa saja.

Perasaannya tak berubah sedikitpun.


Mungkin begitulah Takumi bagi Sara.


Ia lalu meletakkan tangan di pipi Takumi dan berbisik dengan wajah kesal:


"Takumi, tidak apa-apa."

"Sara...?"

"Kau boleh bergerak."

"Ah, bukan itu..."

"Takumi?"

"Aku... kalau bergerak sedikit saja akan keluar..."


Suara terbata-batanya membuat Sara tersentak, lalu tiba-tiba tertawa.


Melihat wajah Takumi yang merajuk, rasa isengnya muncul.


Dengan sengaja, ia memutar pinggangnya, menggeser kontol yang masih menancap di dalamnya.


"Oh, kalau aku yang bergerak, aku bisa menang—"

"Menang apaan—Nngaaaaahhh!?"

"—Eh?"


"Meledak" adalah kata yang tepat. Sesuatu yang elastis mencoba membuka pintu terdalam Sara, berdenyut-denyut tak terkendali.


kontol itu kejang-kejang, berusaha menodai organ dalam Sara dengan nafsu yang dipendamnya—tapi terhalang selaput karet tipis.


Sementara memek Sara sendiri bergerak-gerak seolah menyambutnya. Gerakan naluriah.


"Sara... jangan terlalu keras..."

"...Aku tidak melakukan apa-apa."

"Ugh... Nnnaaahhh...!"


Takumi mengerang seperti nyawanya dicabut.


Matanya protes seolah meminta Sara berhenti memerasnya, padahal ini bukan disengaja.


Takumi benar-benar kehilangan kendali. Dia memeluk Sara erat-erat, seolah tak ingin kesadarannya melayang.


Sara hanya pasrah menerimanya. Membelai kepala Takumi yang menempel di bahunya.


Ejakulasinya lama—sangat lama.

Berapa banyak yang keluar?


Sara sendiri kaget merasakan volumenya meski melalui kondom.


Saat Takumi akhirnya tenang, kontolnya yang masih tegak perlahan dicabut dari tubuh Sara.


"...Banyak sekali?"

"........"

"Ada darahnya."

"...Ya."


Kondom itu penuh dengan air mani yang mengejutkan.

Dan ada darah—bukti Sara dan Takumi telah bersatu.


Saat Sara memandanginya seperti barang kenangan, Takumi canggung mengikatnya dan membuang ke tempat sampah.


kontolnya masih tegak, mengeluarkan cairan dari ujungnya seperti belum puas.


Sara mengerutkan kening.


Sedikit kasihan melihatnya belum puas, dan ia tak keberatan melanjutkan—tapi rasa sakit keperawanannya tadi melebihi bayangan.


Melihat tatapan Sara, Takumi buru-buru menutupi selangkangannya dengan sprei dan berkata kaku:


"Ayo kita ganti baju."

"Ya."


Demikianlah Takumi dan Sara saling mempertukarkan keperjantanan dan keperawanan mereka.


◇◇◇


Saat keluar dari love hotel, matahari hampir terbenam.


Sinar senja tersembunyi di antara gedung-gedung, hanya menyisakan warna merah di ufuk barat.


Sara menghela napas, menghembuskan udara putih yang menghilang di angkasa.


Seperti rencana awal, Takumi terlihat sangat canggung.


"Lebih sakit dari yang kubayangkan."

"...Wajar, kan ini pertama kali untuk kita berdua."


Ada rasa bersalah—seperti telah melakukan hal terlarang.

Dan perasaan aneh yang tak bisa ia pahami.


Ya, ritual tadi benar-benar mengubah hubungan mereka.


Sara menatap tangannya, mengingat apa yang baru terjadi.

Takumi tadi adalah seseorang yang asing baginya.


Saat ia melirik Takumi, mata mereka bertemu.


Ia mengira Takumi sama canggungnya, tapi yang ia lihat adalah senyum masam penuh kekecewaan.


"Susah sekali. Meski sudah melakukan itu, bagiku Takumi tetaplah Takumi."

"........Apa?"


Takumi tak mengerti maksudnya. Tapi jelas perasaan mereka setelah berhubungan sangat berbeda.


"Kalau begitu, kita berpisah saja."


Dengan gerakan tangan, Sara pergi dengan langkah gontai.

Takumi hanya bisa terpaku melihat punggungnya menjauh.


Ditinggalkan sendirian, ia memukul tembok love hotel sambil mengumpat:


"Sialan!"


—seolah ingin memuntahkan kegelisahan hitam yang menggerogoti dadanya.


Langsung Checkout Novelnya Disini

Posting Komentar