Chapter 1
Tentang Apartemen Tempat Tinggalku yang Dibongkar Saat Aku Pulang
Musim semi. Katanya musim ini adalah musim pertemuan baru, saat bunga sakura bermekaran di mana-mana. Tapi, begitu masuk tahun kedua SMA, perubahan dalam lingkungan pun tak begitu terasa. Dulu aku juga sempat berpikir begitu.
Sudah satu minggu sejak naik kelas dan masuk ke kelas baru. Berbeda denganku—Ootsu Akito—yang masih berusaha menahan kantuk, suasana di kelas pagi ini penuh semangat, seolah hari baru baru saja dimulai.
"Belakangan ini, aku selalu berusaha bersyukur kepada dewa, Akito."
Yang mengatakan itu dengan penuh perasaan adalah Yamamoto Masahiro, temanku sejak tahun pertama.
Dia anggota klub baseball dengan potongan rambut sangat pendek, hampir botak, dan tubuh tinggi besar lebih dari 180 cm. Dengan lemparan cepat yang berasal dari tubuh besarnya, dia sudah menjadi pitcher utama meskipun baru tahun kedua, dan tiap hari berlatih keras demi cita-citanya lolos ke Koshien. Jauh berbeda dariku yang hanya anggota klub pulang-pergi dan kerja paruh waktu.
"Ucapan aneh mendadak itu bukan hal baru sih, tapi hari ini kamu lebih aneh dari biasanya. Apa kamu mulai jadi orang religius sekarang?"
"Mungkin. Sekarang aku bisa percaya kalau ada dewa. Soalnya aku bisa sekelas dengan dua orang itu—Amagi-san dan Sisidou-san!"
Masahiro menatap ke arah kerumunan teman sekelas yang sedang bercakap-cakap, dan di tengah-tengahnya ada seorang gadis yang terlihat sangat menikmati suasana.
Namanya adalah Amagi Ayame. Rambut hitam jernih dan wajah yang sangat memesona. Tubuhnya begitu indah sampai-sampai dua buah dadanya yang besar tak bisa disembunyikan oleh seragam. Bahkan gravure idol pun akan kabur kalah saing. Tak salah jika semua cowok di sekolah ini tergila-gila padanya—dia benar-benar gadis tercantik di sekolah.
"Haaa... Amagi-san cantik banget hari ini juga. Aku juga pengin lebih dekat dengannya."
"Kalau begitu, kenapa nggak gabung aja ke lingkaran mereka? Amagi-san bukan tipe yang bakal bersikap dingin sama orang, kok."
"Bodoh! Aku dan Amagi-san hidup di dunia yang berbeda, tahu! Kalau aku nekat mendekat, aku bisa terbakar oleh sinar suci dari cahaya yang memancar darinya!"
Pengen kuceletukin "Kamu itu vampir atau apa sih", tapi omongannya Masahiro memang ada benarnya juga.
Amagi-san adalah putri dari presiden perusahaan properti besar ‘Grup Amagi’. Meski masih SMA, dia sudah mendirikan bisnis baru dan turut mengembangkan perusahaannya. Karena prestasinya itu, dia digadang-gadang jadi kandidat kuat penerus sang ayah.
Tapi meski punya latar belakang sehebat itu, dia sama sekali tidak sombong, dan memperlakukan semua orang tanpa membeda-bedakan, baik cewek maupun cowok. Itulah kenapa dia dijuluki Saint. Kami yang orang biasa jelas hidup di dunia yang berbeda dengannya. Jadi wajar kalau Masahiro merasa minder.
"Amagi-san itu cuma dengan melihatnya aja udah bikin hati tenang. Lihat senyumnya itu... bagaikan dewi yang turun ke dunia."
Nggak tahu apa dia habis baca manga isekai atau gimana, tapi menyebutnya dewi itu berlebihan. Lagipula, kalau benar dia itu makhluk surgawi, mestinya dia menyendiri di pojokan kelas, bukannya dikelilingi teman-temannya.
"Kalau kamu sendiri gimana? Nggak kepikiran pengen dekat sama Amagi-san juga?"
Aku melirik sekilas ke arah kerumunan itu. Nggak perlu ditanya juga jawabannya jelas. Meskipun nggak bisa akrab, aku tetap ingin setidaknya bicara satu kali dengannya. Kami sekelas, jadi cepat atau lambat pasti ada kesempatan.
"───Fufu."
"…Eh?"
Waktu aku bengong melihat ke arah sana, pandanganku bertemu dengan mata Amagi-san. Entah kenapa, dia tersenyum kecil... bahkan melambaikan tangan sedikit ke arahku.
Sebelum aku sempat yakin apakah itu memang ditujukan padaku atau bukan, Amagi-san sudah kembali bercakap-cakap seolah tak terjadi apa-apa.
"Hoi, Akito. Ngapain melamun begitu?"
"Ma-maaf. Tadi aku cuma kaget sebentar… Eh, tadi kita lagi ngomongin apa, ya?"
Aku menggelengkan kepala, mengusir pikiran liar yang sempat melintas.
Tatapan kami yang saling bertemu, senyuman itu, dan lambaian tangannya—semuanya cuma khayalanku. Pasti aku cuma salah lihat.
"Aku juga penasaran kamu kaget kenapa sih… Tapi sudahlah. Kita lagi ngomongin kamu mau dekat sama Amagi-san atau enggak."
"Oh, yang itu ya. Nggak juga sih, aku—"
"───Akito, kamu mau dekat sama siapa, sih?"
Suara rendah yang lembut tiba-tiba terdengar dari atas kepalaku, menyela ucapanku. Saat menengadah, pandangan kami langsung bertemu.
"Selamat pagi, Akito. Kamu kelihatan ngantuk lagi hari ini. Nggak apa-apa?"
Sambil tersenyum, gadis itu duduk di kursi sebelahku—gadis yang tadi sempat disebut Masahiro, sejajar dengan Amagi-san dalam hal kecantikan.
Namanya Sisidou Noa.
Rambutnya yang dipotong sebahu berwarna perak keputihan, seolah pantulan cahaya dari salju di padang es. Mata tajam yang sedikit naik di ujung, hidung mancung tinggi, dan paras sempurna yang mengingatkan pada boneka porselen. Katanya, itu pengaruh dari kakek dari pihak ibu yang berasal dari Eropa Utara.
Dia adalah model profesional aktif dengan postur tubuh ideal tanpa lemak berlebih. Bahkan—kalau harus dibandingkan, bagian dadanya pun melampaui milik Amagi-san.
Amagi, Sisidou, dan seorang gadis lain dari kelas bawah adalah tiga besar ikon kecantikan di sekolah kami.
"Pagi, Sisidou. Aku sedikit kurang tidur, tapi ya biasa aja, sih."
"Berarti seperti biasanya, ya."
Sisidou tertawa kecil. Meskipun terlihat akrab, aku baru mulai berbicara dengannya setelah duduk sebangku sejak naik ke tahun kedua. Sebelumnya, kami bahkan nyaris tidak pernah bertukar kata. Jadi meski aku senang dia menyapaku sehangat ini, aku juga agak kewalahan dengan betapa dekatnya jarak antara kami.
"Senang kenal kamu, Ootsu-kun. Tapi panggilannya terlalu formal ya. Aku panggil kamu Akito aja, ya. Kamu juga panggil aku Noa, ya."
Itulah yang dia katakan waktu pertama kali kami bicara. Tapi mana mungkin aku bisa langsung memanggil namanya seperti itu. Setelah berbagai macam tarik ulur, akhirnya kami sepakat aku tetap memanggilnya Sisidou tanpa embel-embel.
Begitu Masahiro tahu soal itu, dia ngedumel panjang kali lebar, bahkan saat pelajaran pun masih sempat-sempatnya ngeluarin komentar penuh kutukan dari belakang. Untungnya, tempat duduk Amagi-san ada di pojok belakang dekat jendela, dan yang duduk di depan dan sebelahnya adalah sesama cewek, jadi semuanya aman.
"Ngomong-ngomong, Akito. Aku belum dapat jawaban atas pertanyaanku tadi."
Sambil bersandar dengan dagu bertumpu di tangan, Shishidou tersenyum menatapku. Tapi mata itu tidak ikut tersenyum.
Ada tekanan tak terlihat dalam tatapannya—jawab, sekarang juga. Jujur aja, itu bukan ekspresi yang enak dilihat dari orang yang duduk tepat di sebelahku.
"Soal pengin dekat sama Amagi-san, ya? Kayaknya jawabannya sih… enggak, ya."
"Oh? Kenapa tuh?"
"Soalnya aku nggak punya alasan buat mendekatinya, itu aja."
Kalau minjem istilah Masahiro, bunga di puncak tebing cukup dilihat dari jauh. Kalau nekat mencoba memetik dan malah jatuh ke jurang, buat apa? Udah banyak cowok di sekolah ini yang hancur karena itu.
"Jadi, maksud kamu lebih suka dada yang bisa dipegang daripada yang cuma bisa dilihat dari jauh, gitu ya?"
"…Hah?"
Apa yang barusan keluar dari mulut cewek berambut silver ini!? Dan kenapa harus pakai wajah bangga segala!? Kalimat macam begitu itu mestinya dipakai di momen yang dramatis, bukan asal ceplos gitu aja. Selain itu, ini kelas lho—kelas! Di depan umum! Dan nadanya kayak seolah-olah aku punya hak buat pegang dadanya Shishidou atau semacamnya.
"Fufu, bercanda kok. Aku cuma pengin tahu gimana reaksimu aja."
"…Tolong jangan bercanda kayak gitu lagi."
Aku menghela napas sambil mengangkat bahu. Ada candaan yang bisa ditoleransi dan ada yang nggak. Yang tadi jelas masuk kategori kedua. Buktinya aja, Masahiro yang tadinya ngobrol ceria sekarang mukanya kayak iblis.
"Maaf ya, ganggu momen kalian. Aku pergi dulu. Lanjutkan obrolan kalian."
"…Mau ke mana?"
"Hm? Ya tentu aja ke tempat Ayame. Aku mau ngadu bilang Aku dilecehkan sama Akito~"
"Oh, jadi kayak gitu ya caranya fitnah muncul. Belajar hal baru, deh."
Bukan cuma perlu pengacara, kali ini aku harus langsung manggil hakim. Kalau nggak segera deklarasi diri sebagai tak bersalah, hidupku tamat di tempat.
"Ngomong-ngomong, kamu dan Amagi-san ternyata dekat juga ya. Aku nggak pernah lihat kalian ngobrol, jadi kupikir kalian nggak akrab."
"Yaa, kami kan sekelas. Masa nggak ngobrol, sih? Kalau nggak, justru aneh kan?"
"Benar juga."
Walau begitu, aku nggak nyangka mereka sedekat itu sampai saling panggil nama. Memang, aku sendiri udah ngalamin gimana Sisidou gampang akrab, tapi tetap aja bikin penasaran ada apa di baliknya.
"Ya udah, cukup bercandanya. Aku cabut dulu ya. Maaf banget udah ganggu."
Setelah puas ngeledek, Sisidou pun berdiri sambil bilang "Sampai nanti." Gaya bebas dan sesukanya itu emang kayak kucing betina. Tapi anehnya, aku nggak merasa terganggu. Malah… aku sedikit menikmatinya.
"Haa… Udah cukup pamer-pamernya ya, Akito."
"…Kamu masih di sini, Masahiro."
Aku menjawab santai ke sahabatku yang sekarang kelihatan kesel banget.
"Kau…! Nggak kebangetan tuh omonganmu!? Emang enak ngejek-ngejek orang yang udah hancur kayak aku!? Begitu serunya, ya!?"
"Aku tahu kamu bakal marah apapun yang kukatakan, jadi kupikir mendingan langsung kuserang duluan… salah ya?"
"Brengsek! Jahat! Setan! Kita bukan temen lagi! Aku cabut! Dasar keparat!"
Sambil teriak "uwaaaaaa" dan setengah menangis, Masahiro lari keluar kelas. Aku pun cuma bisa tertawa pahit.
Seandainya dia bisa belajar dikit dari ketenangannya Sisidou, dia pasti udah jadi cowok populer.
"Baru pagi udah bikin capek…"
Masih sekitar sepuluh menit sebelum homeroom dimulai. Aku bisa aja duduk santai di sini, tapi mengingat hari ini pasti panjang, rasanya lebih baik cari angin segar dulu.
"…Eh?"
Saat berdiri dan berjalan ke arah pintu, aku merasa seperti ada yang memanggil. Saat menoleh, pandangan mataku dan Amagi-san kembali bertemu. Tapi aku tetap nggak punya nyali buat bicara, jadi kuanggap itu cuma kebetulan, lalu melangkah ke luar kelas.
"Eh!? Itu Ootsu-senpai, kan!?"
Saat berjalan menyusuri lorong, terdengar suara ceria memanggil namaku. Dari kejauhan, aku melihat seorang gadis berambut pirang berlari menghampiriku dengan kecepatan penuh.
"Selamat pagi, Ootsu-senpai!"
Dengan senyum lebar, dia menabrakku pelan seperti berusaha peluk. Gadis itu adalah adik kelas satu tahun di bawahku, Chidori Sara-chan.
Dengan mata bulat besar dan wajah imut yang mencampur kematangan dan kepolosan, dia terlihat seperti kupu-kupu yang siap keluar dari kepompongnya.
Karena sekolah kami membebaskan gaya rambut dan warna, dia mengecat rambutnya pirang, dan ternyata sangat cocok dengannya. Rok seragamnya juga sengaja dibuat super pendek, menampilkan kakinya yang ramping dan sehat.
Dengan kepribadiannya yang ramah dan gaya yang mencolok, dia jadi pusat perhatian di kelas. Tapi seperti Amagi-san, dia nggak pilih-pilih dalam bergaul, makanya banyak cowok memanggilnya "gyaru baik hati yang ramah sama otaku" dan memujanya.
Alasan kenapa aku bisa akrab dengan Sara-chan adalah karena sekolah kami, sekolah Izumi Zakura, merupakan salah satu sekolah negeri langka di Tokyo yang memiliki sistem pendidikan terpadu SMP dan SMA.
Sara-chan masuk lewat jalur internal sejak SMP—sedangkan aku dan Masahiro adalah siswa dari jalur eksternal yang masuk saat SMA—dan kami jadi dekat sejak suatu acara tahun lalu.
"Pagi. Kamu semangat juga ya dari pagi, Sara-chan."
"Senpai sendiri kelihatannya lesu seperti biasa! Hari baru mau dimulai, apa nggak apa-apa tuh?"
"Hahaha… yah, karena ini udah jadi rutinitas, harusnya sih nggak masalah."
Kalau dibilang aku nggak kepikiran soal dua kali saling tatap dengan Amagi-san hari ini, ya itu bohong. Tapi hidup ini bukan manga. Roda takdir yang berhenti tiba-tiba berputar lagi? Nggak semudah itu.
"Itu nggak boleh, Senpai. Soalnya kejadian besar itu biasanya datang dari hal-hal tak terduga, lho. Kalau lengah, bisa tamat hidupmu seketika. Kita nggak tahu kapan dan di mana akan dijebak secara sepihak, kan?"
"Oh, kalau itu… aku baru aja hampir kena. Hampir aja masa SMA-ku tamat sebelum waktunya."
"Eh!? Emangnya siapa yang coba menjebak Senpai? Dan tuduhannya apa?"
"Siapa lagi kalau bukan Sisidou, yang duduk di sebelahku. Dia tiba-tiba bilang ‘Akito melakukan pelecehan’, dan bahkan bilang mau lapor ke Amagi-san. Sumpah, bikin jantung copot."
Begitu aku menjawab sambil tertawa pahit, ekspresi Sara-chan mendadak serius.
"……Ootsu-senpai sedekat itu ya sama Noa-senpai?"
"Hm? Kalau dibilang dekat, ya baru akhir-akhir ini sih kami mulai sering ngobrol. Aku belum cerita, ya?"
"Memang sih aku pernah dengar, tapi ini pertama kalinya aku dengar langsung dari mulut Senpai soal interaksi sama Noa-senpai… Hmm, kayaknya aku nggak boleh santai-santai lagi nih."
"Sara-chan, kamu bilang apa barusan?"
"Nggak kok! Nggak bilang apa-apa! Cuma… aku mau mikir strategi… eh, maksudnya, rencana… sendirian sebentar, jadi aku pamit balik ke kelas dulu ya!"
Setelah memberi salam hormat dengan gaya militer, Sara-chan pun berlari meninggalkan tempat seperti badai yang lewat. Meski heboh, tetap saja interaksi singkat itu menyenangkan. Meskipun… soal jadi lebih tenang atau nggaknya, no comment, deh.
"……Hei, Akito. Itu barusan maksudnya apa sih?"
Yang bikin kepikiran adalah, kenapa Sara-chan begitu peduli dengan hubunganku sama Sisidou. Dan fakta bahwa dia langsung ngomong soal ‘rencana’ juga nggak bisa diabaikan. Jujur aja, agak mengkhawatirkan.
"Hei, Akito. Kita ini sahabat, kan? Kenapa kamu cuekin aku terus sih?"
"Karena kamu nyebelin!? Dan panas! Jangan nempel-nempel!"
Karena fokus mikirin niat tersembunyi Sara-chan, aku nggak sadar kalau Masahiro tiba-tiba muncul dari belakang. Maksudku, aku sadar sih… tapi aku langsung paksa lepas tangannya.
"Kenapa kamu bisa tega ngomong begitu!? Emang selama ini persahabatan kita cuma segitu artinya buatmu!?"
"Kenapa jadi drama kayak pasangan putus, sih…?"
Entah kenapa Masahiro sekarang jadi kayak pasangan clingy yang baru putus. Padahal, setahuku, dia nggak begini pas awal kenal dulu. Apa yang bikin dia berubah segini parahnya?
"Kamu ngobrol akrab sama dua dari tiga cewek di ‘Ranking Cewek Idaman Sekolah’!! Itu jelas penyebabnya!"
Sambil berkata begitu, Masahiro mencengkeram bahuku dan mengguncangkanku keras-keras. Kepala jadi pusing kayak naik roller coaster yang nggak ada asyik-asyiknya.
"Cuma kamu terus! Kamu terus! Dunia ini nggak adil banget!!"
"Kalau kamu bisa benerin sikap kayak gitu, mungkin nasibmu akan berubah, tahu…"
Sayangnya, ucapanku tidak sampai ke telinganya. Bahkan setelah kami balik ke kelas, kemarahan Masahiro nggak mereda sampai homeroom dimulai.
*****
"Haaah… rasanya capek banget hari ini."
Akhirnya hari panjang ini berakhir. Dengan napas berat, aku meninggalkan sekolah dan berjalan pulang.
Sumber kelelahan ini macam-macam: mulai dari curhatan cinta Masahiro, gangguan dari Sisidou selama pelajaran, aksi agresif Sara-chan sebelum homeroom, sampai pandang-pandangan tak terduga dengan Amagi-san yang bikin jantungku deg-degan.
"Tidur aja, yuk. Tidur cepat hari ini."
Badan sih masih segar, tapi hati udah remuk. Nggak ada tenaga buat masak, jadi kayaknya makan malam nanti bakal ngandelin apa yang ada di kulkas. Tapi ketika aku pulang ke rumah…
"Apa-apaan ini…!?"
Kalau benar kata pepatah bahwa berbuat baik di kehidupan sebelumnya akan membawa kebahagiaan di kehidupan sekarang, maka pastilah aku di kehidupan lalu adalah penjahat kelas kakap yang menendang semua kebaikan dan ketawa puas setelahnya. Kalau nggak, hal kayak gini nggak akan terjadi.
"Dibongkar…? Jangan bercanda…"
Waktu berangkat sekolah tadi, semuanya masih normal. Aku sempat nyapa si pemilik apartemen juga, dia bahkan tersenyum.
Nggak ada pengumuman di papan info juga. Tapi sekarang, tempat ini dipagari dan bertuliskan ‘Dilarang Masuk Selain Pihak Berkepentingan’.
"Hei, Ootsu-kun. Kenapa melongo begitu di situ?"
Dan seperti dalam cerita horor, muncul si pemilik apartemen tepat di hadapanku—senyum santai, tangan kanan megang kaleng bir.
Orang paruh baya yang badannya berisi ini selama ini selalu baik padaku yang tinggal sendirian. Tapi… kenapa dia kelihatan santai banget padahal apartemen tempat tinggalnya dibongkar!?
"Pak, maksudnya gimana ini!? Kenapa dibongkar!? Saya nggak pernah dengar kabar soal ini!?"
"Oh, ya itu wajar. Aku memang nggak bilang ke kamu soal pembongkarannya."
Dia bilang itu sambil tertawa dan menenggak birnya. Aku hampir mengepalkan tangan, tapi aku masih punya sisa-sisa akal sehat untuk menahannya.
"Jangan-jangan… penghuni lain tahu soal ini semua, dan cuma saya yang nggak dikasih tahu?"
"Pintar sekali! Tepat sekali, Ootsu-kun! Kamu cocok jadi detektif SMA!"
"Ini bukan lelucon!! Kejadian kayak gini tuh nyatanya lagi berlangsung sekarang! Kenapa cuma saya yang nggak dikasih tahu!?"
Kalau ini pertunjukan lawakan, aku tinggal tabok kepala dia dan selesai. Tapi ini kenyataan. Kalau begini terus, aku bakal jadi tunawisma.
"Tenang, Ootsu-kun. Aku ngerti kamu kesal. Tapi masa kamu kira aku nggak punya alasan buat nggak bilang ke kamu?"
"Justru aku ingin tahu alasannya apa. Soalnya aku sama sekali nggak bisa nemuin alasan logisnya."
Oke, aku memang masih SMA. Tapi tetap aja, ini keterlaluan. Balik ke rumah orang tua juga susah karena beda prefektur. Aku nggak mau ngerepotin mereka. Tapi nyari tempat baru dan pindahan butuh biaya. Aku kejebak.
"Aku bukan iblis. Tentu saja aku punya alasan. Nih, coba lihat ini dulu."
"Udah ketahuan banget dari awal kamu muncul sambil bawa bir…"
"Pintar banget kamu hari ini, Ootsu-kun! Nih, lihat rencana pembongkaran ini."
Dia menyodorkan selembar kertas padaku dengan senyum lebar. Aku menatapnya tajam sebelum membaca isi kertas itu. Isinya sih cuma jadwal pembongkaran. Nggak ada yang aneh.
"Terus maksudnya apa, nih?"
"Kamu nggak lihat? Coba perhatikan nama perusahaan di pojok kanan bawah. Apa tertulis di situ?"
"Perusahaan…? Penanggung jawabnya adalah Amagi Real Estate… Itu grup perusahaan besar Amagi… Amagi…?"
"Benar sekali! Apartemen tua berusia 30 tahun yang letaknya agak nanggung ini dibeli langsung oleh Amagi Group!"
Pemilik apartemen tertawa senang. Tapi telingaku seperti berhenti mendengar. Di kelasku ada anak perempuan bernama Amagi… dan kami saling tatap beberapa kali hari ini. Apa jangan-jangan dia mau memberitahu soal ini?
"Nggak nyangka ya, calon presiden direktur Amagi Group ternyata gadis secantik itu. Dan dia sekelas sama kamu juga!"
"Tunggu sebentar… Bapak pernah ketemu Amagi-san?"
"Tentu aja! Dia ikut langsung waktu negosiasi jual-beli apartemen ini."
"…APA!?"
Kenapa Amagi-san ikut dalam negosiasi!? Otakku nggak bisa mengejarnya. Tapi si pemilik apartemen tetap melanjutkan ceritanya.
"Dia tuh dewasa banget. Nggak kayak anak SMA. Aku sampai kagum. Kamu beruntung banget bisa sekelas sama dia!"
"Yah… memang sih…"
Bisa lihat senyum Amagi-san dari dekat aja udah seperti anugerah. Katanya, bahkan ada gosip foto candid-nya diperjualbelikan di sekolah. Memang keterlaluan, tapi itu bukti betapa populernya dia.
"Dan dia nggak cuma beli apartemen ini lho. Dia juga bilang aku bakal tetap dipekerjakan jadi pengelola bangunan baru yang akan dibangun nanti! Baik banget, ya!"
"…Selamat deh, Pak."
"Cuma, dia kasih satu syarat. Sampai hari pembongkaran dimulai, aku harus absolut nggak boleh bilang apa-apa ke kamu. Semua penghuni juga disuruh jaga rahasia."
Aku menjatuhkan bahu tanpa tenaga. Aku sudah cukup egois memaksa hidup sendiri jauh dari rumah, dan sekarang malah akan merepotkan lagi. Rasanya aku tak pantas menatap wajah siapa pun.
"Maaf sudah membuatmu khawatir. Tapi tenang saja, tempat tinggal baru untukmu sudah kami siapkan."
"...Hah?"
"Itu juga akan aku jelaskan nanti. Di kamar Ootsu-kun, pelan-pelan... dan dengan intim."
"Dengan intim itu nggak pas!"
Refleks aku menyanggah, dan aku yakin aku tidak salah. Yang salah adalah aku mendengar kata yang tak seharusnya keluar dari mulut Amagi-san. Setidaknya aku belum pernah dengar dia mengatakannya di sekolah.
"Haa... baiklah. Kamarku sempit dan agak berantakan, juga aku nggak bisa menjamumu dengan layak. Tapi kalau kamu nggak masalah, silakan."
"Tentu, tak usah repot-repot. Justru aku malah lebih suka kalau ada nuansa kehidupan sehari-hari."
Dengan wajah merah dan senyum mengembang, Amagi-san menggeliat kecil dengan gaya manja. Sungguh sulit dipercaya kalau gadis ini adalah Amagi-san yang aku kenal. Seolah melihat sisi dirinya yang belum pernah muncul sebelumnya.
"…Boleh minta waktu sebentar? Aku mau beres-beres dulu."
"Nggak usah repot. Lagipula kita harus cepat membicarakan semuanya dan mulai persiapan."
"Persiapan?"
"Ya, persiapan pindah. Bukankah sudah aku bilang? Rumah baru untukmu sudah disiapkan."
Sambil memiringkan kepala dengan polos, Amagi-san menjawab.
"Jadi begitu ya… Tapi, tunggu dulu!? Kamu mau bawa aku ke mana, sebenarnya!?"
"Itulah kenapa, ayo cepat antar aku ke kamarmu, supaya kita bisa membicarakan semuanya."
Dia berkata begitu sambil berkedip genit seolah bintang bersinar dari matanya. Sikap seperti itu seharusnya tidak dilakukan oleh gadis secantik dia. Detak jantungku melonjak seolah mau meledak keluar dari dada.
"Haa… ya sudah. Kamarku sempit dan sedikit berantakan, tapi kalau kamu nggak keberatan, silakan."
"Fufu. Terima kasih. Syukurlah kamu cepat paham. Kalau kita terlalu santai, tahu-tahu sudah malam."
*****
Menyuruh Amagi-san duduk di lantai rasanya terlalu tidak sopan, tapi aku juga nggak punya bantal duduk untuk tamu. Jadi aku menyuruhnya duduk di atas tempat tidur. Hanya dengan kehadirannya, kamar biasa ini tiba-tiba terasa bersinar.
"Begitu ya… Jadi inilah tempat tinggal Ootsu-kun…"
Amagi-san memandangi sekeliling kamar seolah sedang menilai sesuatu. Detak jantungku makin keras—siapa yang nggak deg-degan kalau gadis paling diidamkan seluruh sekolah mendadak datang ke rumah?
"Sempi—, eh, maaf. Sempit, ya."
"Bukan, bukan itu maksudku. Malah aku cukup kaget kamar ini ternyata cukup bersih. Dan… ini pertama kalinya aku masuk kamar laki-laki, jadi aku agak terharu."
Pipi Amagi-san merona, dan dia tertawa malu. Senyumnya memang seperti yang biasa terlihat di kelas, tapi sekarang terasa berbeda—seperti gadis yang sedang jatuh cinta.
"Ah… oh ya, boleh aku tahu alasannya? Kenapa kamu membeli apartemen ini dan sengaja menyembunyikannya dariku?"
"Hm, dari mana ya harus mulai… Tapi sebenarnya bisa dijelaskan hanya dengan satu kalimat…"
"Penjelasan singkat itu penting. Jelaskan saja dengan jelas."
"Ka… kalau begitu, aku akan langsung ke intinya…"
Setelah menarik napas dalam beberapa kali, Amagi-san berkata sambil melihatku dengan tatapan mematikan dari bawah:
"Ka-kamu itu… maksudku, aku ingin… menjadikanmu milikku…"
"………Apa barusan katamu?"
Apa yang barusan dikatakan gadis ini? Kalau aku nggak salah dengar, dia bilang ingin menjadikanku miliknya. Ini bukan dunia fantasi di mana kamu bisa beli orang dengan uang!
"Aku tahu, mungkin kelihatannya cara yang aku tempuh ini terlalu memaksa. T-tapi ini satu-satunya cara yang bisa aku pikirkan!"
"Tunggu dulu. Dari awal aja aku nggak ngerti!?"
Aku sendiri sedih mengatakannya, tapi aku bukan siapa-siapa. Bukan ganteng, nilai biasa aja, olahraga juga cuma sedikit di atas rata-rata. Laki-laki biasa banget. Kok bisa sih… air mata mau keluar.
"Yang penting sekarang, Ootsu-kun, kamu tinggal terima situasinya! Jangan banyak protes!"
Amagi-san membentak sambil membanting tangannya ke meja. Ya, aku tahu kalau aku mengangguk dan bilang "baik" semuanya bakal selesai, tapi... logika dan akal sehatku tidak semudah itu dikalahkan.
"Kamu nyuruh aku nerima gitu aja!? Kalau ini cuma salah paham, aku bakal malu banget dan pengen lenyap! Tadi kamu bilang ‘mau jadikan aku milikmu’, itu artinya kamu ngelamar aku, ya!?"
"Me-melamar!? Ya… kalau Ootsu-kun nggak keberatan, kamu boleh menganggapnya begitu."
"Kenapa sih bukan salah denger aja!? Kenapa sih malah kamu mengiyakan!?"
Nggak bisa. Aku nggak bisa menyanggahnya dengan cukup cepat. Apalagi, Amagi-san yang bicara sambil wajahnya merah padam itu, ya… terlalu manis. Jantungku makin gawat.
"Uh, udah cukup bercandanya. Bisa kita bicara serius sekarang?"
"Sungguh keterlaluan. Aku ini sedang sangat serius, lho? M-meskipun aku mengaku tadi kurang tepat penyampaiannya … Tapi kan tadi kamu bilang boleh langsung to the point. Jadi impas, ya?"
Nih cewek… selalu bisa membalas argumen. Aku memijat dahi sambil menghela napas. Hari ini doang rasanya semua keberuntungan hidupku tersedot habis.
"Fufu. Maaf, tadi aku terlalu banyak menggoda ya."
"Ya ampun… serius, jantungku nggak kuat…"
"Tapi, keinginanku untuk menjadikanmu milikku itu sungguhan, lho? Aku nggak bohong. Kumohon, percayalah."
"Bukan masalah percaya atau nggaknya… tapi kenapa sejauh itu?"
Hubunganku dengan Amagi-san hanyalah sebagai teman sekelas. Dia ketua kelas, aku bukan siapa-siapa. Kami juga bukan satu klub, bahkan tempat duduk pun nggak sebelahan. Obrolan kami pun bisa dihitung jari. Jadi… kenapa?
"Karena kamu bahkan nggak sadar kenapa aku menyukaimu… Itulah Ootsu-kun yang aku jatuh cintai."
"…Jangan bilang ‘suka’ sembarangan, deh."
"Terima kasih sudah khawatir. Tapi tenang saja. Aku nggak akan bilang itu ke sembarang orang. Aku hanya mengatakannya… pada Ootsu-kun saja."
Amagi-san yang tersenyum berkata demikian adalah seorang dewi tanpa celah, dan ketika gadis seperti itu berkata "Hanya kau yang bisa aku katakan bahwa aku suka," pipiku langsung memanas begitu saja.
"Kalau boleh aku katakan… hanya Ootsu-kun lah yang benar-benar melihatku apa adanya. Dan, meskipun dalam keadaan sesulit apapun, tekadmu untuk hidup dengan kuat sangatlah mempesona, aku sangat mengaguminya."
"...Aku nggak paham sama sekali."
"Ya, memang begitu seharusnya. Lagi pula, kan ada yang bilang kalau alasan seseorang suka pada orang lain itu nggak perlu logika, bukan? Ootsu-kun nggak perlu memikirkannya, cukup terima saja perasaanku."
Amagi-san turun dari tempat tidur dan mendekatkan wajahnya. Entah sedang marah atau cemberut, pipinya yang menggembung dengan lucu membuatku tidak bisa menatap langsung dan akhirnya menundukkan pandanganku.
"Kenapa kamu alihkan pandanganmu? M-mungkin kamu nggak bisa terima perasaanku? Apakah itu artinya kamu nggak suka padaku?"
Amagi-san langsung berubah menjadi lesu, wajahnya seakan hendak menangis. Aku buru-buru berusaha menjelaskan.
"Ti-tidak! Bukan begitu! Bisa dipandang sebagai kehormatan besar kalau Amagi-san punya perasaan seperti itu padaku, bahkan kalau besok hujan badai dan aku mati, aku bakal tetap senang! Cuma…"
"Cuma apa?"
Kata-kataku terhenti. Kalau aku langsung menerima perasaan Amagi-san, semuanya pasti beres.
Tak mungkin ada kesempatan kedua dalam hidupku untuk menjalin hubungan dengan wanita secantik ini, seorang dewi yang bisa jadi terkenal dalam sejarah. Tapi, meskipun begitu, ada alasan kenapa aku ragu.
"Aku nggak bisa bilang dengan penuh percaya diri kalau aku suka padamu, Amagi-san. Dengan perasaan yang setengah-setengah begini, aku nggak bisa jawab begitu saja hanya karena keadaan."
Aku menundukkan kepala, meminta maaf. Seharusnya, aku bisa lebih ringan menerima perasaan itu, menganggap hubungan ini sebagai hal yang wajar. Bukannya membuang kesempatan begitu saja—seharusnya aku tidak bersikap seolah-olah menolak. Suara teman-temanku yang kesal dengan cara berpikirku sudah terngiang di telingaku.
Tapi sebelum aku mengatakan apa-apa, faktanya aku tahu hampir tidak ada yang aku ketahui tentang Amagi-san—hanya sekadar informasi umum seperti dia anak seorang CEO, baik hati, disukai banyak orang, dan sebagainya.
Aku merasa, dengan pengetahuan yang minim, menjalin hubungan dengannya hanya akan berakhir buruk.
"Fufu, aku sudah menduga kalau kamu bakal bilang begitu. Sebenarnya, kalau kamu langsung menerima, aku bakal sedikit bingung sih."
"...Apa kamu sedang mengujiku?"
"Ah, siapa yang tahu? Tapi aku hanya ingin menegaskan bahwa kata-kataku itu semua jujur, kok."
Amagi-san yang tersenyum sambil berkata begitu membuat hatiku berdebar. Kalau dia terus mendekat dengan cara ini, aku khawatir tanpa sadar aku akan dikelilingi dan akhirnya menyerah begitu saja. Aku harus tetap bertahan.
"Yah, itu saja dari aku. Sekarang, Ootsu-kun, kita mulai persiapan saja, ya?"
"Persiapan?"
Amagi-san berdiri dengan suara imut, meletakkan tangannya di pinggang. Dari bawah, aku tak bisa tidak terfokus pada dua "bukit" yang begitu mencolok.
"Seperti yang sudah aku bilang, persiapan untuk pindah. Aku sudah bilang kalau aku siapkan rumah baru untukmu, kan? Itu artinya, kita harus mulai berkemas sekarang."
"Eh, tunggu, kita bakal ke rumah itu sekarang juga? Bukan besok?"
"Tentu saja sekarang. Kalau kamu lebih suka bangun dengan suara bising dari alat berat, itu urusan lain. Kalau begitu, nyawa kamu nggak bisa dijamin."
Aku hanya bisa mengeluarkan keluhan kecil. Mau menolak juga tidak ada gunanya, dan aku benar-benar bisa saja berakhir tidur di bawah langit tanpa sarung tangan.
"Baiklah. Aku akan segera berkemas, tapi aku rasa nggak mungkin semua selesai dalam satu hari. Apa nggak apa-apa?"
"Tentu saja. Untuk hari ini, kamu hanya perlu berkemas dengan barang-barang penting saja. Sisanya, saat kamu di sekolah, aku sudah atur agar pihak jasa pengangkutku yang mengurusnya."
Dia bilang begitu dengan nada tenang yang seakan menenangkan, namun aku malah merasa khawatir. Amagi-san benar-benar terampil, sampai-sampai rasanya bukan lagi terkejut, tapi lebih kepada ketakutan.
"Aku juga akan bantu, jadi mari kita kerjakan dengan cepat dan efisien. Sekarang, izinkan aku melihat bagian bawah tempat tidurmu."
"Wait, wait, wait!? Kamu nggak usah bantu! Kenapa mesti mulai dari sana sih!?"
"Itu kan sudah jelas! Di mana lagi seorang anak laki-laki yang sedang mengalami pubertas biasanya menyembunyikan majalah dewasa kalau bukan di bawah tempat tidur?!"
"Apa yang kamu katakan!? Itu nggak benar! Lagipula, kalau pun ada, aku nggak akan memberitahumu!"
Bagaimana aku bisa memperlihatkan koleksi pribadiku yang disembunyikan itu kepada teman sekelas, apalagi seorang gadis? Itu pasti akan jadi penyiksaan. Tetapi Amagi-san tetap saja bersikeras, menatap bawah tempat tidur dengan penuh semangat, seperti anjing besar yang baru dibelikan mainan baru.
"Aneh, kenapa nggak ada majalah dewasa di sini? Ootsu-kun, kamu sembunyikan di mana, sih?"
"Seperti yang sudah kubilang, nggak ada apa-apa di bawah tempat tidur! Dan kalaupun ada, aku nggak akan memberi tahu kamu!"
Kenapa aku harus membuka rahasia-rahasia memalukan itu kepada gadis sekelas? Itu benar-benar seperti siksaan. Namun, Amagi-san terus menolak untuk mengerti, bertingkah seperti anak kecil yang tidak mau menyerah.
"Jangan begitu! Kasih tahu sedikit saja! Hanya sedikit, sedikit aja!"
"Seorang gadis remaja nggak boleh ngomong begitu! Lagipula, kamu mengganggu aku berkemas, jadi bisa nggak keluar dulu?"
Dengan Amagi-san di sini, segala sesuatunya jadi terhambat.
"Tidak! Aku ingin membantu! Kita harus cepat selesai dan pindah, kan?"
"Eh? Apa maksudnya, kamu akan ikut pindah ke sana juga?"
"Eh? Tentu saja! Aku kan juga akan tinggal di sana bersama kamu."
"...Hah?"
Aku menatap Amagi-san dengan wajah bingung, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan.
Sepertinya aku sedang menghadapi kebingungan terbesar dalam hidupku. Berapa kali hari ini aku sudah memperbaharui rekor kebingunganku? Mungkin lebih baik aku tidak berpikir terlalu dalam.